Pengertian Integrasi Nusantara

Integrasi Nusantara

Baru pada zaman Islam, seseorang dari suatu daerah tertentu dapat menjadi tokoh penting di daerah yang lain, dengan tidak memandang dari suku apa dia berasal, karena telah diperekatkan oleh ajaran suci Al-Qur’an bahwa “sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara”. Fatahillah dari Pasai menjadi panglima balatentara Demak, lalu mendirikan kota Jakarta. Ki Geding Suro dari Demak mendirikan Kesultanan Palembang. Syaikh Yusuf dari Makassar menjadi mufti Kesultanan Banten. Beberapa sultan Aceh adalah orang suku Melayu dan suku Bugis, bahkan ada yang keturunan Arab! Masih banyak lagi contoh yang lain. Pada zaman sebelum Islam hal ini belum pernah terjadi, sebab belum ada rasa persaudaraan antar suku. Itulah sebabnya mengapa di Bandung ada Jalan Diponegoro dan Jalan Sultan Agung, tapi tidak kita jumpai Jalan Gajah Mada!

Berabad-abad sebelum lahir faham nasionalisme, jiwa dan rasa satu bangsa pertama kali ditanamkan oleh Islam! Perhatikan saja nama ulama-ulama termasyhur kita zaman dahulu: Syaikh Abdurrauf al-Jawi al-Fansuri (Pansur), Syaikh Abdussamad al-Jawi al-Falimbani (Palembang), Syaikh Nawawi al-Jawi al-Bantani (Banten), Syaikh Arsyad al-Jawi al-Banjari (Banjar), Syaikh Syamsuddin al-Jawi as-Sumbawi (Sumbawa), Syaikh Yusuf al-Jawi al-Maqashshari (Makassar), Syaikh Abdulkamil al-Jawi at-Tiduri (Tidore), dan lain-lain. Semua mengaku Jawi (‘bangsa Jawa’), dari suku mana pun dia berasal.

Berabad-abad sebelum istilah ‘Indonesia’ diciptakan oleh ahli geografi James Richardson Logan tahun 1850, nenek moyang kita menamakan diri ‘bangsa Jawa’, sebab orang Arab sejak zaman purba menyebut kepulauan kita Jaza’ir al-Jawa (Kepulauan Jawa). Sampai hari ini, jemaah haji kita masing sering dipanggil ‘Jawa’ oleh orang Arab. “Samathrah, Sundah, Sholibis, kulluh Jawi!” demikian kata seorang pedagang di Pasar Seng, Makkah. “Sumatera, Sunda, Sulawesi, semuanya Jawa!”

Sangat menarik apa yang pernah dikemukakan Prof.Dr. Hamka sebagai berikut: Sudah beratus-ratus tahun lebih dahulu sebelum gerakan kebangsaan, orang Islam yang naik haji ke Mekkah, seketika ditanyai siapa nama dan apa bangsa, mereka telah menjawab nama saya si Fulan dan saya bangsa Jawa! Terus datang pertanyaan lagi: Jawa apa? Baru dijawab Jawa Padang, Jawa Sunda, Jawa Bugis, Jawa Banjar, dan suku Jawa sendiri disebut Jawa Meriki. Padahal orang-orang berpendidikan Belanda, kalau datang ke Negeri Belanda, tidaklah dapat memberikan jawaban setegas itu. Sampai Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, yang ada baru Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes, dan berbagai macam Jong. Marilah kita bersaksi kepada sejarah, mari kita buka kartu sekarang: siapakah yang terlebih dahulu menyadari rasa kebangsaan, kalau bukan bangsa Indonesia yang beragama Islam? (Rubrik “Dari Hati ke Hati”, majalah Pandji Masjarakat, No.4, 20 November 1966).

Sebelum Islam datang ke Indonesia, bahasa Melayu hanya dipakai di Sumatera dan Semenanjung Malaka. Bahasa Melayu baru tersebar di Nusantara bersamaan dengan penyebaran Islam. Para ulama, di samping memperkenalkan agama baru, juga memperkenalkan bahasa baru sebagai bahasa persatuan. Sebagai huruf persatuan digunakan Huruf Arab-Melayu, yang dilengkapi tanda-tanda bunyi yang tidak ada dalam huruf Arab aslinya. Huruf `ain diberi tiga titik menjadi nga; huruf nun diberi tiga titik menjadi nya; huruf jim diberi tiga titik menjadi ca; dan huruf kaf diberi satu titik menjadi ga. Alhasil, masyarakat dari Aceh sampai Ternate berkomunikasi dengan bahasa dan aksara yang sama.

Bahasa Melayu juga dipakai dalam berkomunikasi dengan bangsa asing. Surat Sultan Baabullah dari Ternate kepada raja Portugal tahun 1570, surat Sultan Alauddin Riayat Syah dari Aceh kepada Ratu Elizabeth I di Inggris tahun 1601, dan surat Pangeran Aria Ranamanggala dari Banten kepada Gubernur-Jenderal VOC Jan Pieterszoon Coen tahun 1619, semuanya memakai bahasa Melayu. Itulah sebabnya Jan Huygen van Linschoten, dalam bukunya Itinerario tahun 1595, wanti-wanti berpesan agar orang Eropa yang ingin datang ke Kepulauan Hindia harus tahu bahasa Melayu, sebab di setiap pelabuhan bahasa itu yang dipakai. Kata van Linschoten, seseorang yang tidak berbahasa Melayu tidak akan diterima oleh penduduk Hindia sebagai bagian dari komunitas mereka.

Dari seluruh data dan fakta yang telah kita bahas, jelas sekali betapa besar peranan Islam dalam melahirkan dan memupuk integrasi bangsa Indonesia. Ketika pada awal abad ke-20 muncul faham nasionalisme yang berkulminasi pada Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928, gagasan “satu nusa, satu bangsa, satu bahasa persatuan” itu segera memperoleh respons positif dari masyarakat di seluruh Nusantara. Hal itu disebabkan kenyataan bahwa benih-benih persatuan dan kesatuan nasional memang telah ditanam dan disemaikan oleh ajaran Islam berabad-abad sebelumnya di seantero penjuru kepulauan tanah air kita.


sumber: http://irfananshory.blogspot.co.id/2010/10/modernisasi-dan-integrasi-nusantara.html

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

TUTORIAL GHOST UNTUK SEMUA MAINBOARD

7 Langkah Mengatasi Ego

Tutorial Membuat Topeng dari Gypsum